Sunday, June 11, 2006

Kepergian Yang Tertunda

Postingan ini aku buat abis baca "Beve Rindu Tony" di Beve's Blog.

Aku mengenalnya sejak balita, karena kita saudara sepupu. Namanya Heri, anak dari adiknya Daddy. Tapi aku mulai benar-benar mengenalnya sejak tingkat Sekolah Dasar, karena kita berada di satu tingkat. Pertama kali yang terlintas di benakku kalau teringat Heri adalah kecelakaan yang dialaminya waktu masih kecil entah waktu masih berusia 6/7 tahun.

Ceritanya sewaktu ia menyeberang jalan, di tabrak mobil dengan kecepatan tinggi, dan entah terlempar beberapa puluh meter karenanya. Ironisnya, mobil penabrak ini melarikan diri alias tabrak lari meninggalkan seorang bocah meregang nyawa di pinggir jalan. Untunglah, saat itu Heri menyeberang di depan rumahnya sendiri, sehingga orang tuanya segera melarikannya ke Rumah Sakit terdekat.

Aku masih terlalu kecil untuk mengingat kejadian ini. Yang aku ceritakan di sini pun, merupakan sebuah cerita yang aku dengar entah berapa kali dari Mommy. Saat itu Heri terbaring koma selama beberapa bulan lamanya. Bahkan beberapa dokter yang berkepentingan udah memberikan isyarat kepada orang tuanya untuk menyiapkan hati untuk kehilangan dirinya. Hidupnya hanya tergantung pada berbagai selang yang bergelantungan.

Paman dan Bibi-ku sebagai orang tuanya tak patah arang. Mereka mencoba berbagai metoda penyembuhan alternatif. Dari ramuan jamu-jamuan tradisional sampai bantuan paranormal alias lebih terkenal dengan julukan dukun tidak membuahkan hasil. Sampai akhirnya mereka pasrah dan memutuskan untuk mencabut Life Support.

Diadakan pula misa Arwah dengan prosesi perminyakan dimana di tradisi Katholik, untuk mempersiapkan seseorang *umumnya yang udah sakit parah* untuk kembali ke sisi-Nya. Mukzizat terjadi setelah sang pastor mengurapi wajah Heri, beberapa saat kemudian, ada reaksi darinya berupa gerakan pelan jari-jari tangannya.

Tak terbayangkan betapa bahagianya orang tuanya saat itu. Bahkan orang-orang dan sanak keluarga banyak yang menyebut "Heri kembali dari alam maut". Bulan-bulan berikutnya, mulailah proses pemulihan Heri yang berangsur-angsur kembali normal.

Seingatku sejak aku berteman dengannya, dia normal seperti anak-anak lainnya. Hanya saja, entah karena cerita ajaib di atas dingiang-ngiangkan terus oleh Mommy, aku jadi lebih tolerance terhadapnya. Padahal biasanya aku egois, maunya menang sendiri. Sampai Mommy-ku terheran-heran dengan pertemanan kita. Aku pernah mendengar bisik-bisik Mommy ke Bibiku "Cuma Heri aja yang bisa berteman akrab dengan Owen".

Kita lewati waktu-waktu bersama kita selama jenjang SD. Tiba saatnya kelulusan, dimana Mommy sudah kalang kabut menyiapkan formulir pendaftaran ke sebuah SMP terbaik di Surabaya, aku mendengar kabar bahwa Heri sekeluarga akan hijrah ke Jakarta. Aku sempat ngotot ke Mommy kenapa Heri gak tinggal aja bareng kita di Surabaya saja. Mommy cuma menggeleng pelan. Nantinya di suatu hari, aku tau penyebabnya, karena faktor ekonomi Pamanku mau mengadu nasib di Jakarta karena ia merasa sudah mentok di Surabaya; dan ia ngotot si Heri ikut dengannya karena Heri adalah anak lelaki satu-satunya.

Sejak itu aku tidak mengetahui bagaimana perkembangan Heri sebenarnya di Jakarta. Aku hanya mendengar kabar-kabar burung begini dan begitu. Hingga akhirnya kita sudah mencapai jenjang Perguruan Tinggi. Seperti orang tua lainnya, Mommy pun suka membanding-bandingkan aku dengan sanak saudara yang lainnya.

"Lihat tuh si Heri di Jakarta, kuliah sambil bekerja sambilan, tapi masih dapet IP 3.5 ke atas". Aku sih diam saja, setahuku pas SD sih dia biasa-biasa saja. Tapi who knows, people changed. Lagian prestasiku juga gak jelek-jelek amat, walau gak ber-IP 3 lebih, tapi masih menyandang gelar Asisten Dosen yang aku tau pula diam-diam digembar-gemborin ama Mommy ke mana-mana.

Akhirnya semester 5, Daddy ada urusan business ke Jakarta sembari mengajak aku untuk sekalian menengok sanak saudara di Jakarta. Singkat kata aku bersua kembali dengan Heri. Sehari semalam kita bercerita and try to catch up the missing period between us. Pas aku ditinggal sendirian di kamar, tersembul secarik kertas Kartu Hasil Study *semacam raport buat anak kuliahan*, terbit keingintahuanku, aku melirik ke Indeks Prestasi yang menunjukkan angka 1,5. Shock, sangat shock. Aku bahkan memastikan apakah itu belongs to Heri or not.

Dan emang benar itu KHS dia. Aku hanya nyengir ahh mungkin "berita burung" yang sampai di Surabaya itu hasil rekayasa Bibiku saja. Tak lama aku balik ke Surabaya dan satu semester kemudian aku dengar Heri Drop Out dari kuliahnya. Kata Mommy sih, udah dapat kerjaan enak dengan gaji yang tinggi. Aku sih cuma nyengir kuda sambil mengiyakan saja. Dasar Gossip.

Singkat kata aku lulus kuliah, berangkat ke Aussie sampai akhirnya Permanent Resident-ku keluar tahun 2003, yang mana aku kudu ke Kedubes Australia di Jakarta untuk menempelkan visa di pasporku sekeluarga. Aku sengaja tidak menginap di rumah Heri, karena gak enak merepotin mereka. Aku memilih untuk menginap di rumah mantan teman kuliahku yang udah bekerja di Jakarta.

Tapi aku juga masih menyempatkan untuk bersua dengan Heri di Jakarta. Siapa sangka, pertemuanku dengannya itu untuk yang terakhir kalinya. Kita bercerita lagi semalaman, dia menunjukkan proyek-proyek Arsitekturnya padaku yang wow seriously keliatannya bener-bener gemilang. Heri bahkan sudah membuka jasa konsultan walau belum lulus kuliah.

Selesai urusan visa, aku segera terbang balik ke Surabaya, enroute to Aussie sampai sekarang. Tahun 2004, aku tidak tahu bahwa kondisi kesehatan Heri menurun drastis, sangat memburuk. Di kemudian hari Daddy bercerita "Ini dikarenakan sebuah kecelakaan yang dialaminya *saat putus dengan pacarnya* sampai dadanya menghantam kemudi alias setir".

Saat itu sih gak apa-apa, beberapa tahun kemudian baru ditemukan bahwa ia mengidap kanker entah kanker apa karena gumpalan darah di dadanya itu. Amazingnya, dia masih terus berkuliah, sampai akhirnya meraih gelar sarjananya. Heri mencoba berobat sampai ke Cina, yang mana dokter di sana pun angkat tangan. Daddy bercerita di hari-hari terakhirnya dia sangat menderita, amat sangat kurus, tinggal tulang berbalut kulit.

Setelah ia pass away, Daddy sms ke aku, singkat bunyinya: Heri udah meninggal dunia tgl sekian sekian. Aku sangat terkejut, karena setahun sebelumnya aku bertemu dia masih segar bugar dan tidak ada yang memberitahuku mengenai penyakitnya itu.

Selamat jalan Heri. Have a good one there.

6 comments:

  1. Waa, kenapa ceritanya akhir2 ini pada 'melankolis' yach???

    Tapi memang bener tuh, banyak 'mujizat' yg terjadi, banyak dokter (smp dokter luar negri sgala) udah angkat tangan, tp begitu didoakan sama pastur bisa sembuh tuh...

    ReplyDelete
  2. wah ceritanya sedih banget wen.. hiks...

    ReplyDelete
  3. aaaaaaaaaa ikut2 bev postingannya
    dasaaaarr

    mbah mbah!!!
    TOGELLLLL
    kira2 piala dunia sapa yg menang ya mbah???

    mbah'e pegang jepang to?
    lek menang aku dikei 200$ to?
    hahahahahah

    ReplyDelete
  4. Selamat jalan Heri...

    *wow ahkong ku ast. dosen*

    ReplyDelete
  5. Owen, memang ada orang tua, yg di depan kita suka memabanding2kan sama yg lebih pîntar,maksudnya buat memberi semangat. So..jgn berkecil hati ya..hihihihi

    Turut berduka buat Heri, hidup adalah perjuangan. Semangat yg di sebar Heri sebelum kepergiannya dgn membuka usaha dan menyelesaikan kuliah adalah contoh buat kita.

    Selamat jalan Heri,engkau pernah dibangkitkan dari maut, hidupmu memang singkat, tapi tidak sia sia.

    ReplyDelete
  6. hai...hide lama neh gak mampir2 kerumah. wah dah lupa ama yutie kali yah... ayo mampir lagi.....

    ReplyDelete